Kamis, 21 Januari 2010

BERPIKIR INDUKTIF


BERPIKIR INDUKTIF

Berpikir induktif dimana pengambilan kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta khusus menuju kesimpulan bersifat umum. Proses berpikir induktif dimulai dari pengamatan lapangan atau pengalaman empiris. Data hasil pengamatan disusun, diolah, dikaji untuk ditarik kesimpulannya.

Kesimpulan umum dari data khusus berdasarkan pengamatan empiris tidak menggunakan penalaran (rasio), tetapi melalui statistika. Misalnya untuk mengetahui kemampuan dosen Unlam membuat karya ilmiah. Mengamati makalah, artikel ilimiah, dan buku teks hasil karya dosen Unlam. Pertanyaan yang muncul: Karya ilmiah yang manakah yang paling menonjol hasil karya ilmiah dosen Unlam?
Hipotesis (praduga) yang diajukan:

1. Dosen Unlam lebih piawai menulis makalah dibandingkan menulis artikel ilmiah atau buku.

2. Dosen Unlam lebih menekuni menulis makalah artikel ilmiah dibandingkan menulis buku.

3. Dosen Unlam lebih menyukai menulis artikel ilmiah dibandingkan menulis makalah.
4. Dosen unlam lebih menyukai tidak menulis apa pun karya ilmiah karena berprinsip, pembelajaran cukup dengan ‘mendongeng’ saja di kelas karena menulis karya ilmiah dianggap sebuah kejahaan, atau pertanyaan lainnya berdasarkan kemungkinan.
Pengujian hipotesis tidak melalui argumentasi teoritis ataupun pengkajian teori, melainkan dengan kajian data-data karya dosen Unlam. Misalnya, ditemukan sekian makalah ilmiah, sekian artikel ilmiah, sekian buku (ilmiah). Dari hal tersebut ditarik kesimpulan berdasarkan analisis data, bukan berdasarkan penalaran.


Statistika berakar dari teori peluang, Descartes, ketika mempelajari hukum di Universitas Poitiers antara tahun 1612 sampai 1616, juga bergaul dengan teman-teman yang suka berjudi. Sedangkan, pendeta Thomas Bayes pada tahun 1763 mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang akan terjadinya suatu kejadian. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam statistika sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat subyektif. Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi, bahkan Eropa pada abad pertengahan. Sedangkan teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana Muslim, namun bukan dalam lingkup teori peluan .
Semula statistika baru hanya digunakan untuk mengembarkan persoalan seperti; pencatatan banayaknya penduduk, penarikan pajak, dan sebagainya, dan mengenai penjelasannya. Tetapi, dewasa ini hampir semua bidang keilmuan menggunakan statistika, seperti; pendidikan, psikologi, pendidikaan bahasa, biologi, kimia, pertanian, kedekteran, hukum, politik, dsb. Sedangkan yang tidak menggunakan statistika hanya ilmu-ilmu yang menggunakan pendekatan spekulatif.
Statika merupakan sekumpulan metode untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan yang melalui pengujian-pengujian yang berdasarkan kaidah-kaidah statistik. Bagi masyarakat awam kurang terbiasa dengan istilah statistika, sehingga perketaan statistik biasanya mengandung konotasi berhadapan dengan deretan angka-angka yang menyulitkan, tidak mengenakan, dan bahkan merasa bingung untuk membedakan antara matematika dan statistik. Berkenaan dengan pernyataan di atas, memang statistik merupakan diskripsi dalam bentuk angka-angka dari aspek kuantitatif suatu masalah, suatu benda yang menampilkan fakta dalam bentuk ”hitungan” atau ”pengukuran”.
Statistik selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema. Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut. Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengkuran. Maka, Hartono Kasmadi, dkk., mengatakan bahwa, ”statistika [statistica] ilmu yang berhubungan dengan cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan pembuatan keputusan.
Statistika digunakan untuk menggambarkan suatu persoalan dalam suatu bidang keilmuan. Maka, dengan menggunakan prinsip statistika masalah keilmuan dapat diselesaikan, suatu ilmu dapat didefinisikan dengan sederhana melalui pengujian statistika dan semua pernyataan keilmuan dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengujian melalui prosedur pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran, tetapi dapat juga sebaliknya.
Contoh yang dikemukakan Jujun S Suriasumantri, penarikan kesimpulan tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik, yaitu ” ”Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyeraahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”. ...Tak seorangpun, saya kira, yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak kecil itu”. Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan seperti ini, maka prinsip-prinsip satatistika terabaikan, ...karena menurut Jujun S. Suriasumantri, ”konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu”.
Untuk itu, suatu penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan”.
Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual.
Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Artinya, jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan hipotesis itu ditolak”. ...Maka, pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif.
Pengujian statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. ...Selain itu, statistika juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Selain itu, Jujun S. Suriasumantri juga mengatakan bahwa pengujian statistik mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.
Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori.
Untuk itu, statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif. Bagaimana seseorang dapat melakukan generalisasi tanpa menguasai statistik? Memang betul tidak semua masalah membutuhkan analisis statistik, namun hal ini bukan berarti, bahwa kita tidak perduli terhadap statistika sama sekali dan berpaling kepada cara-cara yang justru tidak bersifat ilmiah.

2. Tinjauan Kasus
Sebagai tinjauan kasus pada pembahasan ini adalah penggunaan statistika dalam kebijakan pembangunan Indonesia khususnya dalam kebijakan-kebijakan sektor pendidikan yang cenderung sudah keluar dari rel kebenaran pendidikan yang berkualitas.
Bicara statistik dan pembangunan sangat relevan. Melalui angka statistik kita bisa lihat keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu, sangatlah pantas bila kita mau menghargai kinerja para statistikawan. Para Mantri statistik di pedesaan tiada terik dan tiada hujan terus bekerja mengumpulkan data guna dipersembahkan pada para pengguna.
Di bidang pembangunan ekonomi dan kemasyarakatan angka statistik punya andil dalam menciptakan keberhasilan berbagai program pembangunan, seperti halnya dalam program pengentasan kemiskinan dan program peningkatan kesempatan kerja. Sebagaimana diketahui data statistik yang akurat akan menghasilkan perencanaan pembangunan ekonomi dan kemasyarakatan yang kuat.

Di bidang pembangunan politik seperti dalam pilpres, pilgub, dan pilkada; data penduduk yang reliable dan valid turut menentukan kehormatan dan keberhasilan perhelatan tersebut. Betapa tidak terhormatnya, masa iya orang yang sudah meninggal dunia masih terdata sebagai pemilih.
Di bidang pembangunan ilmu, kedudukan statistik sangat jelas sebagai salah satu komponen dari sarana berpikir ilmiah di samping logika, bahasa, dan matematika. Bila matematika selalu menuntun kita dalam proses berpikir deduktif, maka statistika senantiasa membimbing kita dalam proses induktif. Statistika harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan ciri dari berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik.
Begitu pula penggunaan statistik sangat berguna dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pendidikan yang diputuskan pemerintah. Kebijakan pendidikan nasional yang dibuat pemerintah sering kali tak diperhitungkan jauh ke depan dan pengambilan keputusan tidak disertai dengan data yang valid dengan menggunakan statistik. Hal itu lebih karena kebijakan pendidikan nasional lebih didasarkan pada kepentingan politik pemerintah saat itu daripada untuk kepentingan pendidikan berkualitas bagi anak bangsa. Tokoh pendidikan HAR Tilaar dalam sebuah kesempatan mengatakan “Karena pendidikan itu lebih bergantung pada struktur kekuasaan yang ada, maka kemajuan pendidikan bangsa ini juga sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah. Jika komitmen politik itu rendah, ya, pendidikan kita tidak akan berubah. Akan terus jauh ketinggalan dari negara-negara lain,”
Menurut guru besar (emeritus) Universitas Negeri Jakarta ini, kuatnya kepentingan politik dalam kebijakan pendidikan nasional itu bukan saja bisa dilihat dari bergonta-gantinya kebijakan pendidikan setiap kali pemerintahan selesai. Ini mengingat, banyak kebijakan pendidikan pada tingkat nasional maupun lokal juga tidak didukung dari hasil penelitian di lapangan, yaitu dalam situasi pembelajaran di sekolah dan masyarakat Indonesia.
Sebagai contoh, kebijakan ujian nasional (UN) yang sampai sekarang masih kontroversial, menurut Tilaar, bukanlah kebijakan yang sangat strategis untuk peningkatan kualitas lulusan pendidikan di Indonesia. Namun, kebijakan itu terus dipaksakan tanpa melihat dampaknya jauh ke depan bagi proses pendidikan secara menyeluruh.
HAR Tilaar mengatakan bahwa dalam perkembangan zaman yang sangat cepat dewasa ini, kebijakan pendidikan Indonesia memang tepat diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan. Apalagi jika melihat dari laporan UNDP tahun 2006, yang menempatkan indeks pembangunan manusia Indonesia di peringkat ke-108 dari 177 negara.
Sayangnya, peningkatan mutu itu sering kali dicapai dengan kebijakan yang tidak berakar dari guru, kepala sekolah, dan masyarakat itu sendiri. Akibatnya, pemerintah masih terus saja berjalan dengan kebijakan yang coba-coba dan berganti-ganti.
Hanya berdasarkan asumsi
Kebijakan-kebijakan pendidikan maupun praksis pendidikan berdasarkan pada asumsi bukan berbasis pada data yang teruji validitasnya, memang pemerintah sering mengatakan bahwa setiap kebijakan yang mereka ambil sudah melalui pertimbangan yang matang dan data yang representatif. Tetapi argumentasi tersebut terpatahkan karena kebijakan pendidikan Indonesia umumnya sering kandas ditengah jalan. Ambil contoh adalah kebijakan tentang kurikulum yang sering berubah seiring dengan pergantian menteri penentu kebijakannya.
“Kita memang bisa belajar dari sumber-sumber ilmu pengetahuan dari bangsa- bangsa yang lain. Akan tetapi, semua itu tetap perlu dicek dan divalidasi dalam situasi konkret di dalam masyarakat Indonesia,” kata Tilaar.
Kebijakan nasional yang juga mendapat sorotan Tilaar adalah upaya meningkatkan profesionalisme guru dan pelaksanaan Kurikulum 2006 yang lebih dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Menurut Tilaar, kebijakan ini merupakan upaya yang baik dalam pelaksanaan reformasi pendidikan di Tanah Air. Namun, sering kali pemerintah tidak juga belajar dari masa lalu, dengan mengambil kebijakan yang tergesa-gesa, tanpa persiapan.
“Seharusnya peluncuran suatu kurikulum baru perlu dilaksanakan dengan persiapan yang matang. Selain persiapan gurunya, juga sarana-sarana penunjang lainnya. Akan tetapi, seperti juga perubahan-perubahan kurikulum nasional sebelumnya, kedatangan KTSP ini merupakan suatu surprise sehingga menimbulkan kegamangan pada guru di lapangan,” kata Tilaar.
Pelajaran yang kita petik dari permasalahan di atas adalah perlunya sebuah pengambilan kebijakan mempertimbangkan hasil pengolahan data yang tentunya diambil dari data yang sebenarnya, bukan dari data yang bias dengan kepentingan-kepentingan yang menguntungkan segelintir pihak saja. Seperti contoh pada data tentang kemiskinan yang sering diperdebatkan keakuratannya oleh berbagai pihak karena data yang diambil bias dengan kepentingan pihak yang berkuasa. Bila data yang diambil berdasarkan pengujian statistika, maka tingkat kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan kadar jumlah sampelnya. Sehingga daya tolak dari kebijakan tersebut bisa diminamilisir dan treatment yang diambil pemerintah tepat sesuai dengan kebutuhan.

0 komentar:

Posting Komentar